Friday, January 11, 2008

Refleksi Akhir Tahun Indonesia 2007

Oleh : Forum Pemuda Mahasiswa Islam (FPMI)


GPI, PB HMI, GEMA Pembebasan, KAMMI, HIMMA Al Wasliyah, GP Anshor, HMI MPO, PP PERSIS, HIMA PERSIS, IRM, Pemuda Islam, BKLDK, FSLDK, PII.

Sepanjang perjalanan negeri ini selama satu tahun terakhir terdapat beberapa permasalahan utama. Permalahan tersebut meliputi kemiskinan dan kesejahteraan, korupsi, kusamnya perpolitikan Indonesia , ancaman disintergrasi dan intervensi asing. Munculya aliran sesat yang berkembang di Indonesia.

Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial
Terjadinya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini tidak menyebabkan kesejahteraan rakyat meningkat. Rakyat justru menghadapi kenaikan harga dan kelangkaan barang-barang kebutuhan pokok. Bahkan di akhir tahun ini rencana pemerintah menurunkan subsidi BBM diperkirakan berdampak buruk terhadap peningkatan jumlah pengangguran.

Meskipun Presiden RI dalam pidato awal tahun 2007 lalu mengatakan ada 3 problem besar yang dihadapi Indonesia yakni tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, dan utang luar negeri Indonesia , namun pada tahun ini tidak ada kebijakan yang jelas untuk mengatasinya. Pemerintah justru terjebak dalam pola Kapitalistik sehingga yang lahir bukanlah peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi ketimpangan ekonomi dan penguasaan aset nasional ke tangan asing dan swasta. UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal merupakan contoh produk hukum yang pro Kapitalis.

Adapun prestasi pemerintah berhasil menurunkan kemiskinan 2,1 juta per Maret 2007 tidak sesuai dengan realitas. Di masyarakat yang terjadi justru lapangan kerja semakin sempit, penggusuran pedagang kaki lima marak dimana-mana, harga sembako semakin mahal, bahan bakar minyak tanah sulit diperoleh warga.

Kondisi ini menggambarkan data statistik BPS yang dijadikan pijakan pemerintah sebagai indikator turunnya kemiskinan bukanlah jumlah orang miskin yang bekurang. Tetapi data yang dirilis BPS dalam Berita Resmi Statistik BPS 2 Juli 2007 tersebut hanya memuat berkurangnya jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan standar pengeluaran per bulan di bawah Rp.166.697. Dalam publikasi tersebut tidak disebutkan kategori-kategori kemiskinan lainnya.

Mengutip data BPS 2006, pada periode Maret 2006, jumlah orang terkategori tidak miskin berjumlah 91,06 juta jiwa dengan standar pengeluaran per bulan di atas Rp 229 ribu. Artinya ada sekitar 128,94 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup dengan pengeluaran per bulan di bawah Rp 299 ribu, suatu kondisi yang sangat memprihatinkan.

Yang kontras di tengah keprihatinan hidup rakyat, kekayaan orang-orang terkaya Indonesia meningkat. Forbes di websitenya www.forbes.com pada 13 Desember 2007 mempublikasikan daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Bila digabungkan seluruh kekayaan mereka diperoleh angka US$ 38,02 milyar.

Dalam tahun 2007 pemerintah berhasil mengalihkan permasalahan beban hutang negara ke beban subsidi, sehingga subsidi dijadikan kambing hitam oleh pemerintah. Padahal subsidi adalah kewajiban pemerintah untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan rakyat. Bila subsidi dikurangi akan berdampak buruk bagi masyarakat. Besarnya subsidi BBM saat ini disebabkan kesalahan pemerintah sendiri, pemerintah tidak menyiapkan kilang pengolahan BBM yang dapat memenuhi kebutuhan nasional. Pemerintah juga menyerahkan kepemilikan ladang-ladang migas kepada swasta dan asing yang menyebabkan pemerintah tidak berkuasa atas migas Indonesia. Akibatnya kebutuhan BBM nasional tidak dapat ditutupi produksi BBM Pertamina sehingga harus impor BBM.

Selama ini terbentuk opini subsidi menyebabkan defisit APBN sehingga harus ditutupi dengan hutang baik hutang luar negeri maupun hutang dalam negeri. Padahal beban hutang pemerintah-lah yang menjadi penyebab APBN defisit. Dalam APBN 2007 pemerintah menerbitkan obligasi Rp 55,06 trilyun, pinjaman luar negeri Rp 40,27 trilyun. Sementara beban cicilan pokok hutang luar negeri yang dibayar sebesar Rp 54,83 trilyun, sedangkan beban cicilan bunga hutang luar negeri dan bunga obligasi sebesar Rp 85,08 trilyun. Dengan demikian transaksi hutang pemerintah menyebabkan APBN 2007 tekor (negative transfer) sebesar Rp 44,57 trilyun. Jadi tidak ada pemasukan dari dana hutang melainkan lebih banyak pembayaran hutang. Sampai dengan tahun 2007 jumlah hutang pemerintah mencapai Rp 1325 trilyun yang terdiri dari hutang luar negeri Rp 546 trilyun dan hutang obligasi Rp 779 trilyun.

Di bidang ketenagakerjaan, menurut Wakil Sekjen Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryono Darudono, pengangguran di Indonesia yang sekitar 40 jutaan telah menjadi ancaman buat ASEAN, di mana kontribusi Indonesia pada angka pengangguran di wilayah itu mencapai 60%. Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran pendidikan yang hanya 11,85 % dari mandat sebesar 20 %, mengindikasikan pemerintah tidak peduli dengan banyaknya anak-anak miskin yang putus sekolah di saat keluarganya terbebani biaya ekonomi yang tinggi. (http://jcsc-indonesia.blogspot.com/2007). Education Watch Indonesia menyatakan bahwa angka siswa putus sekolah di Indonesia mencapai 36,73%.

Dalam bidang perekonomian, pemerintah lebih mendengarkan arahan IMF dengan menerapkan Konsensus Washington yang menetapkan privatisasi dan liberalisasi ekonomi sebagai ujung tombak. Padahal privatisasi dan liberalisasi perekonomian justru akan semakin menjauhkan pemenuhan kesejahteraan bagi rakyat, karena pengelolaan publick goods diserahkan kepada sektor privat yang bernalar untuk mengeruk keuntungan bukan memberikan layanan. Hal ini jelas bertentangan dengan imperatif konstitusi yang telah menetapkan bahwa publick goods mestinya dikolola oleh negara untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat.

Fakta menunjukkan, dengan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik, perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freepot, dan lainnya dengan mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada, sehingga kontribusi SDA Migas dan Non Migas terhadap APBN makin lama makin kecil. Sementara, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon, dan BBM.

Dari sisi pengeluaran, terdapat alokasi belanja yang sangat kontradiktif, di mana dana pajak yang dipungut dari masyarakat dengan susah payah, yang semestinya dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, ternyata sebagian besar untuk membayar utang yang rata-rata tiap tahun sebesar 25-30 % dari total anggaran. Dalam APBN-P 2007, anggaran belanja subsidi BBM dan lainnya sebesar 105 trilyun, sedangkan pembayaran utang bunga Rp 83,5 trilyun dan cicilan pokok Rp 54,7 trilyun atau total sebesar Rp 138,2 trilyun. Jelaslah bahwa penyebab defisit APBN bukanlah besarnya subsidi melainkan utang yang sebagian besar hanya dinikmati oleh sekelompok kecil, yaitu konglomerat untuk kepentingan restrukturisasi perbankan.

Korupsi
Parahnya korupsi di Indonesia dibuktikan oleh hasil survei terbaru yang dikeluarkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Survei yang dilaksanakan pada Januari–Februari 2007 tersebut melibatkan 1.476 pelaku bisnis asing di 13 negara Asia. Hasil polling itu kemudian digunakan untuk membuat peringkat mengenai persepsi terhadap tindakan korupsi dan penanganannya di Asia, menggunakan sistem skor 0-10. Negara yang dinilai bersih dari korupsi mendapat skor 0, sedangkan yang paling buruk mendapat skor 10. Indonesia bersama Thailand menduduki peringkat kedua dengan skor 8,03, setingkat di bawah Filipina yang mendapat nilai 9,40. Bagi Indonesia, hasil ini sedikit lebih baik dari tahun lalu di mana Indonesia mendapat nilai 8,16.

Posisi ini menegaskan bahwa Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara benua Afrika, seperti Togo, Burundi, Etiopia, Republik Afrika Tengah, Zimbabwe, dan negara tetangga, Papua Nugini, yang juga bersama-sama Indonesia menempati urutan 130 dunia. Berarti, pemberantasan korupsi belum mencapai sasaran yang diinginkan.

Sementara itu, menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari 2,4 di tahun 2006 menjadi 2,3 di tahun 2007. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia meningkat dan masuk ke dalam negara yang dipersepsikan terkorup di dunia.

Dari 180 negara yang disurvei TII, Indonesia menduduki peringkat 143. Skala peringkat IPK mulai dari 1 sampai 10. Semakin besar skor IPK suatu negara, semakin bersih negara tersebut dari tindak pidana korupsi. Sebagian besar responden dalam penentuan peringkat IPK adalah pengusaha yang berhubungan langsung dengan birokrat yang korup.

Di tahun 2007 terlihat ada pejabat atau mantan pejabat yang dimajukan ke pengadilan. Tapi pemberantasan korupsi masih terlihat seperti tebang pilih. Misalnya, sejauh ini belum terlihat para pengemplang BLBI dan para pejabat yang bertanggungjawab yang telah merugikan negara ratusan triliun diadili. Yang terjadi, Mahkamah Konstitusi (MK) justru mencabut beberapa instrumen hukum pemberantasan korupsi. Pertama, dengan membatalkan aspek keadilan material atau hanya mengakui keadilan legal formal. Yang memilukan lagi, MK juga membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi perilaku para hakim. Sementara ide pembuktian terbalik yang diyakini akan sangat efektif menjerat para koruptor, hingga kini juga tidak mendapat respon semestinya dari parlemen.

Gagalnya penanganan kasus korupsi juga dipicu oleh rendahnya integritas para penegak hukum itu sendiri. Yang paling menyakitkan adalah ketika mega korupsi diselesaikan secara politik, seperti dalam kasus BLBI. Majalah GATRA No. 27 thn XIII (17-23 Mei 2007) menulis pernyataan mantan Jaksa Agung, Abdurahman Saleh, yang mengungkapkan bahwa semasa Presiden Megawati dikeluarkan surat keterangan lunas bagi para obligor BLBI. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, kasus BLBI diselesaikan melalui skema master settlement and acquisition agreement (MSAA). Pernyataannya, apakah semua keputusan politik itu diberikan tanpa kompensasi apapun dari para koruptor?

Intervensi Asing
Sepanjang tahun 2007 ini kita merasakan derasnya arus intervensi asing, khususnya yang dilakukan oleh negara-negara adidaya seperti AS dan Inggris. Tentu itu semua bisa terjadi karena kita lemah dan mau diintervensi baik di lapangan ekonomi maupun politik. Di bidang politik di antaranya bertujuan untuk menjaga agar Indonesia tetap dikuasai oleh kekuatan politik yang sealiran dengan kepentingan AS. Diantaranya adalah; penandatanganan perundingan kerjasama pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) dengan Singapura. Perjanjian ini memberikan hak latih bagi militer Singapura di wilayah Indonesia yang membentang antara Pulau Natuna Besar dan Kepulauan Anambas.

Pendidikan
Pendidikan sedang dikapitalisasi dan diliberalisasi. Pembahasan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah selesai dan siap diujipublikan akhir 2007. Privatisasi pendidikan melalui BHMN/BHP membawa konsekuensi berupa pengelolalan lembaga/instansi pendidikan yang lebih otonom. Jika sebelumnya pengelolaan lembaga/instansi pendidikan khususnya negeri didominasi oleh pemerintah, maka dengan adanya privatisasi lembaga/instansi pendidikan memiliki kewenangan yang lebih dalam mengelola lembaganya.

Anggaran pendidikan yang ditetapkan 20%, pada 2007 hanya Rp 90.10 triliun (11.8% dari APBN). Kini, peran pemerintah dalam pendidikan terus dikurangi, termasuk masalah dana. Konsekuensinya dana diambil dari masyarakat (SPP dan non-SPP). Sebagai contoh, ITB tahun 2007 butuh Rp 392 miliar, untuk itu diberlakukan SPP reguler 2006/2007 Rp 3.25 juta/semester; Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan Rp 625.000,00/SKS. Fakultas Kedokteran salah satu PT di Jawa memungut Rp250 juta – 1 milyar. Kalau ini terus berlanjut maka orang miskin ’dilarang sekolah’. Kapitalisasi dan liberalisasi ini berlaku mulai Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Ketika dana dari pemerintah minim, kampus dijadikan alat untuk menghasilkan uang, atau dana berasal dari pinjaman asing. Akibatnya, terjadi ketergantungan dana pada pihak asing, khususnya Bank Dunia dan ADB. Hal ini menciptakan ‘penjajahan’ kurikulum, kultur, dan isi otak. Akibatnya, rakyat menjadi kuli di negerinya sendiri.

Politik Luar Negeri
Sementara itu, politik luar negeri Indonesia sepanjang tahun 2007 semakin meninggalkan prinsip ‘bebas dan aktif’. Beberapa kebijakan luar negeri yang diambil justru semakin menunjukkan Indonesia lebih berkiblat pada kepentingan Barat terutama AS dan sekutunya. Dukungan Indonesia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1747 yang memberikan sanksi terhadap Iran misalnya, menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia tunduk pada tekanan AS.

Penjajahan atas Palestina masih terus berlangsung. Kedatangan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas ke Indonesia Senin (22/10/07), tidak bisa dilepaskan dari kerangka kebijakan AS. Tujuannya adalah untuk meminta dukungan pemerintah dalam konferensi di Annapolis yang disponsori Amerika Serikat, November 2007 lalu. Konferensi itu sarat dengan kepentingan AS dan Israel, tampak dari tidak dilibatkannya Hamas. Padahal Hamas mendapat dukungan yang luas rakyat Palestina. Kesediaan Indonesia hadir dalam konferensi Annapolis mengundang kecaman dari Pimpinan Hamas di Jalur Gaza, Mahmud Zahar, “Saya sangat kecewa pada pemerintah Indonesia yang telah mengkhianati rakyat Palestina”, ujarnya. Semua ini makin mempertegas bahwa Indonesia pro AS dan Israel.

Sementara itu, Indonesia malah secara diam-diam menjalin hubungan baik dengan Israel yang merupakan ‘anak emas’ AS. Sudah terjalinnya hubungan baik ini secara terbuka diakui Shimon Peres (Presiden Israel) menyatakan, bahwa underground relations (hubungan bawah tanah) Indonesia dengan Israel telah terbangun lama. “Kami punya hubungan baik dengan Mesir, Jordania, Turki dan juga Indonesia,” ujarnya. (Jawa Pos, 4/11/2007).

Khotimah
pandangan yang keliru tentang fakta permasalahan ekonomi khususnya permasalahan kemiskinan. Kemiskinan terjadi bukan karena barang atau produk yang dibutuhkan masyarakat tidak ada atau tidak adanya sumber daya. Warga menjadi miskin karena kemampuan daya beli yang rendah. Permasalahan daya beli rendah harus dipecahkan melalui sistem distribusi kepemilikan/kekayaan yang adil bukan dengan dengan jalan pertumbuhan yang hanya berorientasi pada aspek produksi dan pemilik modal. Kita melihat pada saat warga masyarakat sulit berproduksi dan berdagang, serta lapangan kerja yang sempit, sebagian besar uang menganggur atau terkonsentrasi pada sekelompok kecil orang saja. Misalnya dana menganggur di SBI bulan Agustus 2007 mencapai Rp 330,87 trilyun. Jumlah yang sangat fantastis setara dengan 45,76% APBN 2007.

Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, negeri ini perlu mengambil syariat Islam sebagai ganti sistem Kapitalis. Karena dengan syariat Islam, paradigma pemerintahan bukan lagi paradigma penjaga malam sebagaimana Kapitalisme-nya Adam Smith melainkan paradigma pemerintah sebagai pengelola dan pengatur urusan umat dengan syariat Islam. Dengan paradigma ini, pemerintah akan menerapkan hukum-hukum kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Hukum-hukum ini akan mencegah penguasaan aset strategis dan sumber daya alam ke tangan swasta dan asing, juga mencegah terjadinya ekonomi sektor ribawi. Penerapan hukum-hukum kepemilikan ini harus disertai dengan kebijakan ekonomi yang berbasis pada politik ekonomi Islam. Karena melalui politik ekonomi Islam pemerintah memiliki peranan kuat di tengah masyarakat dalam memenuhi setiap kebutuhan primer warga negara dan memberikan dorongan kepada mereka meningkatkan taraf hidupnya.

Berkenaan dengan realita tersebut diatas, Forum Pemuda Mahasiswa Islam (FPMI) menyatakan sikap sebagai berikut;

• Bahwa Rezim Kabinet Indonesia Bersatu yang di pimpin oleh SBY – JK, hingga akhir tahun 2007, belum secara nyata menunjukan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Hal ini telah mempertegas KEGAGALAN pemerintahannya dalam mengemban amanah rakyat untuk melakukan perubahan di negeri ini. Untuk itu, FPMI mendesak kepada SBY – JK agar Menyudahi Politik kamuflase nya dan segera membuat kebijakan nyata yang berpihak kepada rakyat dan bangsa.

• Mendorong kepada segenap lapisan masyarakat untuk meneguhkan niat, semangat dan gerakan di tahun 2008 sebagai tahun penegasan kembali kedaulatan dan kemandirian. Hal ini bisa ditempuh dengan cara melakukan pengelolaan aset-aset strategis (sumber daya mineral, energi dan telekomunikasi) oleh negara, memberikan akses pendidikan murah dan mudah bagi semua lapisan masyarakat dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, memperkuat basis ekonomi kerakyatan dengan memberikan proteksi kepada UKM, menghapuskan liberalisasi ekonomi dan memperkuat basis pertahanan dan keamanan.

• Mendorong dan mendukung munculnya pemimpin yang berjiwa muda, progresif, berpihak kepada kedaulatan dan kemandirian negara dan memiliki kemampuan mengelola potensi kekayaan alam yang melimpah ruah.

• Permasalahan kemiskinan, korupsi, disintegrasi dan intervensi asing, dan berbagai bentuk kezaliman lainnya disebabkan oleh diterapkannya sistem Kapitalis Sekuler, dan kepemimpinan yang tidak amanah.

• Persoalan yang menimpa Indonesia pada tahun 2007 ini disebabkan 3 faktor utama, yaitu alam, sistem, dan manusia.

• Untuk mengatasi problem-problem tersebut FPMI sebagai Forum Organisasi Kepemudaan (OKP) Islam, memandang betapa pentingnya seruan untuk menyelamatkan Indonesia dengan syariah. Sebab syariah merupakan aturan dari Allah SWt yang dapat menyelesaikan problem tersebut yang telah teruji selama bertahun-tahun sepanjang kekhilafahan Islam. Dengan syariah pula akan dilahirkan kepemimpinan yang amanah di tengah umat.
Jakarta, 30 Desember 2007
FPMI

AddThis Social Bookmark Button

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More