Ciri gerakan intelektual yang
dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan,
kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat
Menyoroti perkembangan gerakan mahasiswa dewasa ini memang menarik, yang tentunya dalam kerangka gerakan mahasiswa yang mesti ditafsirkan ulang secara lebih aktual dan kontekstual sesuai dengan perkembangan sosio-kultural kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kontekstualisasi gerakan mahasiswa Indonesia penting sebagai konsekuensi logis perkembangan sejarah kehidupan manusia dan Bangsa
Indonesia yang tidak lepas dari ruang dan waktu.
Jika sebelum kemerdekan 1945 gerakan mahasiswa identik dengan upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan atau kolonialisme bangsa asing, dalam era Orde Lama berorientasi mempertahankan kemerdekaan, pada era Orde Baru mengisi ruang-ruang pembangunan, maka dalam konteks era reformasi saat ini, yang tentunya menuntut sejumlah perubahan paradigma gerakan menuju revitalisasi semangat zamannya.
Visi dan misi gerakan mahasiswa Indonesia mesti diarahkan pada fragmentasi proses
perubahan sosial politik dan ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan hidup
masyarakat luas di negeri ini. Termasuk yang sangat urgen di dalamnya adalah
pemberantasan prilaku korupsi yang sangat membahayakan masa depan kehidupan umat
manusia.
Gerakan mahasiswa Indonesia harus lebih mengacu pada proses pemberdayaan
dan pengembangan masyarakat (community development), baik dalam kerangka pemikiran maupun praksisnya di lapangan. Gerakan-gerakan sosial seperti aksi jalanan atau demonstrasi sebagai satu model ekspresi kritik sosial atas kebijakan publik dan
politik yang dipandang kurang berpihak atas kepentingan hidup masyarakat
luas tetap penting.
Tapi konseptualisasi-konseptualisasi gagasan yang bersifat sistimatis guna mengubah dan atau memengaruhi arah kebijakan politik itu juga penting, sehingga aksi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Maka dalam konteks inilah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dilahirkan sejak 5
Februari 1947 lalu, memiliki peran strategis dengan tradisi intelektualitasnya
yang begitu kental seiring perjalanan sejarah bangsa. Jargon sebagai organisasi
gerakan pembaharu atau gerakan intelektual sangat melekat dalam diri HMI.
Cita-cita menjadikan HMI sebagai "inetelektual yang ulama, atau ulama yang
intelektual," adalah salah satu misi suci HMI. Ciri gerakan intelektual yang
dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan,
kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat.
Sehingga atas
dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di Tanah Air tercinta ini, sikap kritisnya
terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam
aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community).
Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual setidaknya tertuang dalam Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kader (Islam) sebagai
insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT. Tradisi intelektualitas HMI
sudah dibuktikan lewat sejarahnya.
Dalam lintasan sejarah pendirian HMI yang
dipelopori oleh Lafran Pane (alm), diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan
berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti
dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang
berdiri pada tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda ideologis, yaitu
berhaluan komunisme, sedangkan HMI, berhaluan Islam. Bahkan, setelah HMI berdiri
(lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam
Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta pada 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar
Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Jogjakarta 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi
kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.
Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan
mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi, politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII).
Dari ceramah-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan
mahasiswa dan masyarakat sehingga kemudian HMI dengan cepat populer di Nusantara.
Selanjutnya HMI pun mengembangkan sayapnya ke berbagai universitas, perguruan
tinggi dan akademisi di seluruh nusantara (Dr H Agus salim Sitompul, 2002).
Dalam konteks kekinian, tradisi gerakan intelektual HMI sesungguhnya harus hadir
dengan semangat baru dalam gerak dan dinamika zaman dengan senantiasa
mengedepankan nilai-nilai keislaman, dan kemanusiaan dan kebangsaan tetapi dengan
format yang lebih kekinian.
Hemat saya, HMI sebagai gerakan intelektual yang memiliki sejarah yang panjang,
dalam konteks perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini,
penting kirannya untuk terus melakukan revitalisasi gerakan intelektual yang
intensif menyangkut berbagai hal: sosial, politik, ekonomi, budaya, agama dan
lain-lain sebagai satu referensi untuk memengaruhi proses-proses pengambilan
kebijakan publik dan politik di sentra-sentra pemerintahan.
Hal ini penting dilakukan sebagai kontinuitas perjuangan dalam posisi dirinya sebagai elemen kaum intelektual dan aset masa depan bangsa. Karena banyaknya kader HMI, setidaknya HMI
memiliki tanggung jawab sosial yang besar, yakni mengabdi pada kebenaran sebagai
satu dimensi ideologi perjuangan.
Sementara objektivikasi perjuangannya harus senantiasa mengacu pada
klausul-klausul teoretis yang memungkinkan tercapainya tingkat kesejahteraan hidup
masyarakat secara luas di negeri ini. Oleh karena itu, gerakan-gerakan HMI harus
tidak sebatas mengkritisi berbagai kebijakan publik dan politik tetapi adalah
bagaimana membangun konseptualisasi-konseptualisasi teoritis guna menyelesaikan
berbagai persoalan sosial yang kini menghambat proses pertumbuhan pembangunan
bangsa.
Kritik sosial sebagai satu perwujudan sikap demokrasi adalah penting, tetapi
konseptualisasi teoritis sebagai media penyelesaian masalah (problem solving) jauh
lebih penting dan bermakna bagi proses pembangunan bangsa ini. Dalam konteks ini,
setidaknya HMI mampu bergerak lebih progresif. Demonstrasi dalam konteks kebutuhan
arah reformasi bangsa dan negara saat ini memang penting untuk dilakukan.
Tetapi, perlu dipikirkan ulang menyangkut strategi gerakan masa depan yang lebih maksimal
dalam upaya pembangunan bangsa tercinta ini. Yang jelas, HMI ke depan harus mampu
mengokohkan kembali gerakan intelektualnya, sehingga diharapkan HMI mampu
melahirkan aspek pencerahan bagi seluruh totalitas proses pembangunan bangsa ini.
Apapun bentuk gerakannya, karena kebenaran harus selalu menjadi satu standar
perjuangan yang abadi.
Lukman Santoso Az
Peneliti Pada Centre for Studies of Religion and State (CSRS)
dan Ketua Tanfidziyah PPM Hasyim Asyarie Jogjakarta.
Sumber: Surya
0 komentar:
Post a Comment