Oleh: Ikhwan Muslim Nasution
Pernah terdengar, cukuplah apa yang diucapkan Sayyid Quthb, ideolog kedua Ikhwanul Muslimin yang—bi iznillah—syahid di tiang gantungan rezim otoriter Mesir, dalam Ma’aalim fith-Thariiq (Diterjemahkan dengan judul Petunjuk Jalan, 2006) mengingatkan kita semua. Beliau menyatakan, “Mereka ingin agama ini mengubah karakteristik, manhaj, dan sejarahnya agar mirip dengan teori dan manhaj ciptaan manusia. Mereka mencoba mengubah alur agama ini demi kecenderungan-kecenderungan mereka. Kecenderungan yang mencerminkan kekerdilan jiwa saat menyaksikan sistem buatan manusia yang dewasa ini semakin banyak diminati.”, (hal.39). Sehingga, dari pembacaan penyimpangan ini, kita tidak lagi terkejut dan “jantungan” ketika menyaksikan pengakuan yang diutarakan dengan percaya diri atas nama “ijtihad politik” oleh salah satu partai politik—yang katanya—Islam bahwa mereka menyatakan diri secara ikhlas sebagai “partai terbuka yang inklusif, nasionalis, religius dan sangat menghargai pluralitas”. Baru-baru ini, dalam Mukernas-nya di Bali, mereka menyerukan kebangkitan semangat kebangsaan menuju kejayaan nasional. Komitmen mereka sebagai partai politik—yang katanya—Islam yang menjunjung tinggi pluralitas, ditunjukkan lewat “aksi nyata” dengan mengumumkan—dengan keyakinan yang tinggi akan kebenaran “ijtihad politiknya”—untuk menerima orang-orang non-muslim (seperti Kristen di Papua dan Hindu di Bali) sebagai kader, pengurus, dan calon legislatif dari partai politik—yang katanya—Islam tersebut.
Sekali lagi, kita harus membiasakan diri dengan kenyataan pahit seperti yang telah dengan terang-terangan ditampilkan oleh parpol—yang katanya—Islam tersebut. Bagaimana mungkin mereka membuka diri terhadap orang-orang kafir dalam “pemaknaan” yang gegabah seperti itu? Dalil dan logika mana yang mereka harapkan akan mendukung “ijtihad politik” mereka itu? Adakah lelucon yang lebih tidak masuk akal selain “harapan” absurd bahwa seorang Kristen dan Hindu akan mendukung dan memperjuangkan syariat Islam di DPR/D? Belum cukup jelaskah bagi kita kasus “kota Injil” Manokwari? Lupakah kita kepahitan yang dialami seorang anggota DPRD muslim di Bali yang “dikecam” hanya karena mengucapkan basmalah dan salam di dalam ruang sidang legislatif? Bagaimana dengan larangan Tuhan dalam ayat-ayat suci untuk tidak mengambil wali dan teman kepercayaan dari orang-orang kafir? Apakah nasionalisme itu sesuatu yang sakral sehingga lebih ditonjolkan dibandingkan ikatan ideologi Islam? Benarkah ikatan kebangsaan itu sesuatu pemikiran yang maju, memajukan, dan termaju? Pertanyaan pamungkas adalah, “Apakah Islam membutuhkan demokrasi?” Yang paling utama dalam perkara ini adalah kejujuran, sehingga, “jangan ada dusta di antara kita”.
1 komentar:
Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Wireless, I hope you enjoy. The address is http://wireless-brasil.blogspot.com. A hug.
Post a Comment