Tuesday, August 5, 2008

Laporan Mingguan LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) 1-9 Agustus 1997

Lesperssi merupakan suatu organisasi non-pemerintah yang didirikan pada tahun 1996 oleh Suripto SH, Prof Dr. Juwono Sudarsono, dan Prof Dr. Sarlito Wirawan. Sebagai suatu organisasi non - pemerintah yang independen, Lesperssi memfokuskan pada kajian-kajian seputar reformasi di sektor keamanan serta permasalahan konflik sosial, baik konflik yang terjadi secara vertikal antara masyarakat dengan pemerintah, maupun secara horizontal antara sesama komunitas di dalam masyarakat. Demikian pula dengan ruang lingkup dari konflik tersebut, baik berupa intra-state konflik yang merupakan konflik yang terjadi di dalam suatu negara dalam lingkup domestik, maupun berupa inter-state konflik yang melibatkan konflik dengan negara lain.
Seiring dengan terjadinya perubahan politik di Indonesia yang dikenal dengan era-reformasi, maka Lesperssi selaku lembaga studi independen mencoba untuk men-spesifikasi apa yang menjadi obyek studi Lesperssi. Sesuai dengan fokus kajian konflik Lesperssi, serta adanya kebutuhan untuk melakukan reformasi pada institusi yang berkaitan dengan masalah keamanan, maka Lesperssi memutuskan untuk menjadikan institusi (baik infrastruktur maupun suprastruktur politik) atau pun komunitas (institusi sipil dan perorangan) yang berhubungan dengan bidang keamanan, sebagai obyek atau target group Lesperssi. Adapun tujuannya sendiri adalah dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai demokratik, guna mewujudkan pemerintahan yang kredibel, transparan, accountable, serta menjunjung supremasi sipil.
Besarnya komitmen Lesperssi terhadap reformasi di bidang keamanan adalah sebagai upaya agar penanganan konflik oleh state apparatus dalam menyelenggarakan tugas penjagaan keamanan nasional, tidak lagi menitikberatkan pada pendekatan represif semata tanpa adanya suatu kendali yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Demikian juga reformasi di tubuh institusi yang berkaitan dengan masalah keamanan tidak dapat terwujud hanya dengan menyerahkan begitu saja kepada institusi tersebut (TNI/POLRI) sambil menghujat kesalahan masa lalu mereka. Dalam hal ini Lesperssi memandang diperlukan adanya upaya sosialisasi nilai-nilai demokratis terhadap para stake holders di bidang keamanan, yang meliputi lembaga-lembaga non-pemerintah yang hirau terhadap bidang keamanan, lembaga-lembaga utama pelaksana keamanan seperti militer dan kepolisian, serta lembaga-lembaga pengendali sektor keamanan misalnya Departemen Pertahanan, dan juga lembaga pengawas sektor keamanan yaitu Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat.
Pentingnya sosialisasi nilai-nilai demokratis ini adalah agar pelaksanaan dan perencanaan pembangunan sektor keamanan dapat berlangsung secara accountable serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sehingga para penyelenggara negara di sektor keamanan dapat bekerja sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang dan berada dalam koridor hukum. Dengan demikian diharapkan dapat membangun kekuatan bersenjata yang modern dan juga profesional dalam menempatkan keberadaan otoritas keamanan di tengah-tengah masyarakat sipil dan kehidupan bernegara.

Anggota Dewan
Dewan Penasehat

Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono
Profesor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Suripto, SH
Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan (2000-2001).
Pengamat sosial-politik
Drs. Rustam Effendi
Presiden Komisaris PT Hexindo Adiperkasa TBK
Direktur Eksekutif

Rizal Darmaputra, S.IP, MSi

Minggu I Agustus 1997
Tanggal 1-9 Agustus 1997
Ada banyak poin laporan lembaga ini. Namun hanya satu yang saya tampilkan, yakni poin 11.
11. Menjelang Kongres HMI di Yogyakarta

a) Bagus Apabila HMI Dipo dan MPO Bersatu Lagi
Ketua PP Muhammadiyah HM Amien Rais (4/8) menyatakan bahwa gagasan untuk menyatukan HMI Diponegoro 16 (HMI Dipo) dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) merupakan langkah yang bagus dan terpuji, karena akan memadukan potensi keduanya. Perbedaan pendapat yang terjadi antar keduanya harus dilihat dari konteks perjalanan yang wajar dan alami. "HMI Dipo (Diponegoro 16 Jakarta) mungkin dengan cepat menerima azas tunggal Pancasila. Sementara HMI MPO masih memerlukaan waktu untuk merenung, kontemplasi, sebelum mengambil keputusan mengenai hal itu."
b) HMI MPO Telah Selesai Berkongres
Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi secara diam-diam telah menyelenggarakan Kongres HMI MPO yang dilaksanakan di Yogyakarta 25-29 Juli 1997. Dalam kongres HMI MPO turut hadir para alumni dan mantan pengurus HMI MPO periode awal a.l : Eggi Sudjana, Awalil Rizki, Hidayat Tri Sutardjo, Ahmad Yani dan Arif Budiman. Terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI periode 1997-1999 Imron Fadhil Sam yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua HMI cabang Jakarta. Dalam kongres tersebut HMI MPO mengangkat tema "Meletakkan Dasar-dasar Perubahan yang Humanis dan Transendetal Menuju Tata Kehidupan Masyarakat Madani". Dalam pernyataannya Ketua Kongres HMI MPO Amin Prasetyo, Mpd menyatakan bahwa bahwa PB HMI MPO telah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan di cabang-cabang besar. HMI MPO cukup mendapat dukungan terutama di Yogyakarta (42 komisariat), Jakarta (26 komisariat), Ujungpandang (26 komisariat), selebihnya dari komisariat-komisariat di Semarang, Bogor, Purwokerto, Wonosobo, Palopo, Surakarta dsb. HMI MPO kini telah menjadi kekuatan hegemoni di kampus-kampus terkemuka.
c) HMI Solo Usulkan Reformasi Politik
HMI Solo dalam siaran persnya menjelang Kongres HMI ke-21 (3/8) yang akan diselenggarakan di Yogyakarta 20-26 Agustus 1997 mengeluarkan rekomendasi ekstern HMI Solo untuk bidang politik dan hukum, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Wakil Sekretaris Umum HMI Solo, Waskito Widi W dan Khomarul Hidayat. Dalam rekomendasi ekstern HMI Solo mengusulkan dilakukannya reformasi terhadap sistem politik yang ada, dengan tetap memegang UUD 1945 dan Pancasila--membuka ruang penyempurnaan dan penambahan bagi UUD 1945. Dalam konteks kepemimpinan nasional, perlu mempertegas fungsi dan peran presiden dan wakil presiden, serta pembatasan jabatan presiden maksimal 2 periode. Selain itu, MPR harus bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. Di bidang hukum HMI Solo mendesak dicabutnya Undang-undang Anti Subversif Haatzai Artikellen yang merupakan warisan pemerintah kolonial. Perlunya repositioning lembaga peradilan agar bebas dari intervensi kekuasaan di luar hukum. (sumber: BSG/ http://www.lesperssi.or.id/)

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More