Wednesday, August 6, 2008

Mana Gerakan Mahasiswa?

Terasa sepi. Tak ada hiruk pikuk mahasiswa di jalanan. Tak ada teriakan lantang suara mahasiswa. Tak ada protes yang bergema. Reformasi telah meninabobokkan mereka yang dahulu menjadi avant garde pelopor. Para tokoh gerakan yang idealis perlahan-lahan luruh menjadi abna’u pragmatism atau kaum pragmatis.

Sejarah mencatat, di era reformasi ini, mereka yang dahulu memelopori peru-bahan, kini telah bergelimang dan ber-paut dengan kekuasaan serta menik-matinya. Tak ada lagi garis demarkasi yang menjadi pembatas ideologi antara pengikut al-haq dengan al-bathil. Semua-nya hidup dalam kondisi ‘talbiz’ campur aduk. Semuanya serba boleh. Mereka ‘mati’ di usia yang sangat dini karena identitas yang jelas.

Bunga-bunga perjuangan yang dahulu menjadi ‘hero’, telah berguguran layu, diterpa kehidupan baru, yaitu kekuasaan. Sebuah lapisan kepemim-pinan yang diharapkan dapat menjadi ‘badil’ pengganti penguasa yang bobrok, ternyata mereka ikut menjadi bobrok. Rakyat menjadi kecewa. Harapan yang tinggi terhadap kaum muda yang idealis, kenyataan hanyalah kosong belaka. Mereka sesudah mendapatkan kesem-patan berkuasa, tak berbeda de-ngan penguasa sebelumnya. Tamak, rakus, dan tak bermoral.

Sedih. Faktanya, mengapa siklus kehidupan di masa lalu yang ‘fasad’ rusak berulang dan berulang. Orang-orang yang dahulu sangat idealis, memperjuangkan cita-cita yang sangat ideal, tiba-tiba berubah meninggalkan dan melupakan idealisme yang pernah terpateri di dalam dada mereka? Mereka menjadi orang-orang yang super pragmatis. Interaksi nilai-nilai yang menjadi ruh dan motiva-tor dalam memandu gerakan yang mereka lakukan tak tampak lagi.

Kekuasaan baru di bawah rezim Soeharto membawa logika-logika politik, yang mengubah jalannya sejarah rakyat Indonesia. Orang-orang idealis yang ingin merekonstruksi sejarah kehidupan politik Indonesia, akhirnya harus berkompromi dengan rezim baru, yang merupakan kuasi (campuran) sipil-militer. Kemu-dian, menempatkan kaum sipil menjadi subordinasi dalam kekuasaan rezim militer. Sejak tahun 1968, rezim baru yang merupakan kuasi sipil-militer itu, terus melakukan konsolidasi kekuasaan. Maka, orang-orang muda yang terlibat dalam perubahan yang luas, sebagian mereka masuk dalam suprastruktur atau peme-rintahan, dan sebagian lain menjadi mesin politik rezim. Masuk Partai Golkar dan birokrasi. Inilah permulaan ideologi materialisme mempunyai pijakan yang kokoh dan menjadi budaya masyarakat Indonesia, karena rezim baru ini mem-posisikan diri sebagai bagian kepentingan kapitalisme global. Indonesia menjadikan industri Barat (Amerika dan Eropa), termasuk Jepang menjadi patronnya.

Mereka larut dalam siklus kekuasaan. Para aktivis tersebut tak mampu mencip-takan kehidupan baru, yang disertai konsep dan landasan ideologi yang jelas, tapi hanyalah sekadar menjadi judgment pembenaran atas seluruh kebijakan rezim. Tak heran orang ‘besar’ seperti Nurcholis Madjid, di awal Orde Baru, haruslah membuat pernyataan, yang nilainya sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan ilmuwan, tentang gagasan yang klasik, yaitu: “Islam Yes. Partai Islam No”. Per-nyataan Nurcholis itu hanyalah menguat-kan kebijakan pemerintah yang ingin membebaskan Indonesia dari belenggu ideologi-ideologi, termasuk ideologi Islam.

Sejatinya Soeharto hanyalah membe-rikan landasan yang kokoh bagi masuknya pengaruh asing, yang materialistis dan kapitalistis. Karena ideologi Pancasila yang menjadi ideologi tunggal negara, memberikan kondisi yang kondusif ma-suknya ideologi materialisme dan kapi-talisme di Indonesia. Pengikisan penga-ruh Islam secara ideologis, haruslah melalui sebuah rekayasa yang opera-sional, yang memiliki landasan yang kuat. Di sinilah letak esensinya, di mana para aktivis di tahun l965, yang dulu bergabung dengan massa besar mengakhiri kekua-saan Soekarno menjadi toleran dan pragmatis terhadap keinginan rezim. Kehidupan sekuleristik yang merasuki kaum muda hari ini, tak lain adalah warisan masa lalu, di masa pemerintahan Soeharto. Sekarang yang ada hanyalah generasi baru yang loyo, tak memiliki idealisme, dan telah larut dalam arus besar kehidupan yang memuja keme-wahan duniawi.

Mengapa orang-orang muda yang waktu di kampus penuh dengan idealisme dan heroisme menjelang kejatuhan Soeharto, di tahun l997-l998, kini sudah menjadi daun ‘layu’ yang rontok ber-guguran? Warisan masa lalu di zaman Soeharto, tak hilang-hilang, bahkan ber-metamorfose dalam bentuknya yang lain. Gaya hidup yang serba materialis yang sudah membudaya dan menghunjam, serta tertanam selama tiga puluh lebih, menciptakan lingkungan bi’ah, akhirnya merusak siapa saja, yang berinteraksi di dalamnya.

Di era reformasi menjadi lebih telan-jang lagi. Bentuk kebangkrutan moral dan politik, terutama di kalangan kaum muda pergerakan, kasat mata. Dari yang paling ‘kanan’ sampai yang paling ‘kiri’ telah terperangkap masuk dalam lingkaran kekuasaan. Pergeseran sikap dan kecen-derungan serta orientasi, disebabkan mereka tak memiliki daya imunitas yang kuat, ketika menghadapi godaan kekua-saan. Mereka berlomba-lomba menjadi penikmat kekuasaan. Mereka menjadi barisan orang-orang yang bermental: “Makan enak ogah kerja”. Alias ‘Meok’.

Di mana mereka yang dulu menyan-dang stempel sebagai aktivis Angkatan ‘98? Mereka ada yang menjadi anggota legislatif, ada yang menjadi ekskutif, dan ada yang duduk menjadi komisaris BUMN. Dengan penghasilan yang luma-yan setiap bulannya, mereka mencoba dengan gaya hidup yang lain, yang tak pernah dijalani sebelumnya. Masa lalu yang penuh dengan romantisme perju-angan sudah tanggal. Tak ada lagi bekasnya.

Mereka umumnya adalah anak-anak masjid, yang mendasari prinsip dalam gerakan mereka dengan prinsip yang jelas, yaitu Islam. Tapi, di mana yang namanya mabda Islami itu letaknya dalam kehidupan praksis sekarang? Sebagai aktivis yang dulu selalu meng-idealkan nilai-nilai Islam dan selalu menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang komitmen (beriltizam) dengan Islam, kenyataannya dalam arus besar reformasi, tak tampak, dan justru mereka larut dalam kehidupan ‘jahiliyah’. Hiruk-pikuk politik dan keterlibatan mereka dalam ‘power game’ permainan kekuasaan, menjadikan nurani mereka tumpul. Tak ingat lagi bahwa mereka dulunya aktivis Islam. Sesungguhnya, ketika berlangsung perjuangan hidup dan mati melawan rezim Soeharto, mereka mempunyai share sumbangan yang berharga. Tapi, kini mereka tak berarti apa-apa dalam kehidupan baru, yang berubah, dan mereka tak mampu mencip-takan perubahan, yang sesuai dengan cita- cita yang Islami.

Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Aktivis Dakwah Kampus (ADK), mestinya menciptakan pengganti bagi perubahan yang mendasar dan luas. Perubahan sistem, perubahan orang-orang yang menjadi pelaku atau aktor politik, dan ideologi atau nilai yang menjadi landasan dasar kehidupan manusia Indonesia. Bukan hanya sekadar menjadi pecun-dang, yang tak berharga, dan akhirnya menjadi sampah sejarah, serta masa lalu kehidupan.

Generasinya Edwin, Ketua BEM UI, dan BEM lainnya, harus berani meretas jalan baru, yang lebih bersifat holistik menyeluruh, tidak parsial dan bertujuan jangka pendek. Kehadiran mereka di depan Istana Negara Senin (12/5) ber-sama dengan mahasiswa seluruh Indo-nesia, menolak kenaikan BBM, tidak semata-mata menunjukkan bahwa masih ada gerakan mahasiswa yang mempunyai perhatian concern terhadap persoalan bangsanya samata, tapi harus menjadi sebuah entitas baru yang lebih progresif, dan sekaligus menawarkan perubahan bagi masa depan rakyat Indonesia.

“Sepuluh tahun reformasi dan berte-patan dengan kebangkitan nasional, kita dari gerakan mahasiswa baik BEM UI maupun BEM se-Indonesia telah berko-mitmen untuk menjadikan tahun ini sebagai tahun bangkitnya gerakan maha-siswa untuk menjawab permasalahan bangsa,” ujar Edwin kepada SI.

Kekuatan orang-orang muda yang progresif idealis, dan memiliki visi, komitmen, serta tidak larut dalam arus materialisme, pasti menjadi sebuah avant garde pelopor perubahan, bukan pula kumpulan orang yang hanya sekadar berbuat berdasarkan ‘petunjuk’. Inilah perubahan besar yang ditunggu rakyat. Wallahu ‘alam. [mashadi/www.suara-islam.com]

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More