Oleh: Abu Bakar Baasyir
Tidak ada manusia yang lebih mengerti tentang Islam kecuali Nabiyullah Muhammad SAW. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah menegakkan syariat Islam dalam sebuah institusi negara bernama Madinah. Seperti maklum, bahwa sunnah (tuntunan) Rasulullah itu bersumber dari dari qaul (perkataan); fi’il (perbuatan); dan taqrir (persetujuan). Fi’liyah Rasulullah SAW dalam mendirikan negara Madinah ini, tentu bukan kategori jibiliyah atau khususiyah melainkan bayan lid-dien (manifestasi dari tugas mengajarkan agama). Maknanya, fi’liyah disini adalah dasar syar’i.
Makna Dien dan Konsekwensinya
Arti “dien” tidak hanya “agama/ugama” dalam pengertian sangsekerta yang bermakna “tidak rusak”. Ia berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna: al-itaa’ah (ketaatan); al-qahru wal-ghalabah (tunduk dan takluk); al-hudud wal-qawanin (hukum dan undang-undang); dan al-jazaa’ (balasan). Hal in seperti yang di jelaskan oleh Al Maududi secara panjang lebar dalam “al-musthalahat al-arba’ah”
Dien dari sisi sumbernya, terbagi menjadi dua: dienullah (agama Allah) dan dienun-naas (agama manusia). Dienullah adalah Islam. Ciri-ciri utamanya adalah ia bersumber dari wahyu Allah sejak nabi-nabi terdahulu. Ciri lain, ia mutlak benar dan syumul (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sifat ke-syumulan-nya berlaku universal; mencakup seluruh bangsa pada setiap zaman.[1] Allah Ta’ala menegaskan: “Sesungguhnya, dien yang benar di sisi Allah hanyalah Islam”
Sedangkan dienun-naas adalah agama manusia. Sumber ajarannya adalah otak manusia. Nilai-nilainya sangat tergantung pada subyektifitas manusia yang sangat beragam. Dan yang pasti, ia bathil disisi Allah. Jika diamalkan hanya akan membawa bencana dunia dan akhirat. Karenanya, tak ada pilihan bagi manusia kecuali Islam.
Dengan demikian, memeluk dienul-Islam berarti siap taat, tunduk, patuh, dan berhukum kepada Allah Ta’ala. Dienul-Islam adalah manhajul hayah (sebuah sistem hidup).[2] Manusia yang enggan berhukum dengan hukum Allah, hanya akan menghantarkan hidupnya menjadi tak bermakna; mengantarkannya pada derajat rendah bahkan lebih rendah dari binatang.[3] ; dan mengantarkan kepada kekufuran. [4]
Ibnu Taimiyyah, berkata:
“Tidak dapat diragukan bahwa orang yang tidak meyakini kewajiban memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya, maka dia adalah kafir. Siapa yang secara sukarela memutuskan perkara diantara manusia menurut apa yang dilihatnya adil, tanpa mengikuti apa yang diturunkan Allah, maka dia adalah kafir. Setiap umat tentu menyuruh kepada keadilan, dan keadilan itu bisa berupa model yang dibuat para pemimpinnya. Bahkan banyak orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam yang memutuskan perkara menurut tradisi mereka, padahal Allah tidak menurunkan yang demikian itu; seperti yang dilakukan pemuka Baduy, mereka ditaati dan dipatuhi, mereka berpendapat bahwa hukum itulah yang harus ditaati, tanpa Alkitab dan Assunnah maka hal ini merupakan kekufuran. Banyak orang memeluk Islam, namun mereka tidak memutuskan perkara, melainkan menurut tradisi yang berlaku. Jika mereka tahu bahwa memutuskan perkara tidak boleh dilakukan kecuali menurut apa yang diturunkan Allah, tapi mereka tidak melakukannya bahkan merasa labih berkenan memutuskan perkara meski bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir. Sebab, selagi manusia mengharamkan hal haram yang sudah disepakati keharamannya, atau mengharamkan hal haram yang sudah disepakati kehalalannya, atau mengganti ketetapan syariat yang sudah disepakati, maka dia adalah kafir dan murtad menurut kesepakan fuqaha’. Tentang orang semacam inilah turun firman Allah; Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir[5], dengan kata lain, dia memperkenankan memutuskan perkara menurut selain yang diturunkan Allah.[6]
Syariat Islam, Mengapa Harus dalam sebuah Negara?
Tidak ada manusia yang lebih mengerti tentang Islam kecuali Nabiyullah Muhammad SAW. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah menegakkan syariat Islam dalam sebuah institusi negara bernama Madinah. Seperti maklum, bahwa sunnah (tuntunan) Rasulullah itu bersumber dari dari qaul (perkataan); fi’il (perbuatan); dan taqrir (persetujuan). Fi’liyah Rasulullah SAW dalam mendirikan negara Madinah ini, tentu bukan kategori jibiliyah atau khususiyah melainkan bayan lid-dien (manifestasi dari tugas mengajarkan agama). Maknanya, fi’liyah disini adalah dasar syar’i.
Dalam kajian siyasah syar’iyyah (politik syar’i), hal ini lazim disebut Imamah. Imam Mawardi dalam “Al-Ahlam As-Shulthaniyah” mendefinisikan Imamah sebagai: “posisi khilafah nubuwwah (pengganti Nabi) dalam megemban tugas hirasatud-dien (menjaga agama) dan siyasatud-dunya bihi (mengatur dunia berdasar nilai dien)”. [7]
Fakta menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dalam melakukan tugas “hirasatud dien” (menjaga dien) dan “siyasatud dunya bid-dien” (mengatur urusan dunia dengan dien) adalah dalam konteks kenegaraan (Imamah). Dimana Rasulullah berlaku sebagai Imam, penduduk Madinah selaku rakyat, dan ajaran Islam selaku undang-undang. Dalam memutuskan perkara-perkara kenegaraan dan kerakyatan, Rasulullah saw. selalu mengacu pada dasar syariat Islam sebagai supremasi hukum.
Syari’at ini terus dijalankan oleh Sahabat dan Tabi’in. Sehingga Ibnu Khaldun -sosok yang dikenal sebagai pelopor sosiologi-, menyatakan bahwa kewajiban Imamah statusnya mencapai derajat ijma’.Sedangkan ijma’ adalah dasar syar’i. Ia berkata:
"Mengangkat Imam itu wajib, dan kewajibannya telah diketahui syara’ dengan ijma' shahabat dan tabiin. Karena ketika Rasulullah SAW wafat, para shahabat bergegas-gegas membaiat Abu Bakar RA dan menyerahkan pertimbangan-pertimbangan kepadanya dalam urusan-urusan mereka. Demikian juga yang terjadi di setiap masa (setelahnya). Hal ini menjadi ketetapan ijma' yang menunjukkan wajibnya mengangkat Imam” [8]
Allah Ta’ala juga tegas berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Annisa 59)
Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan taat kepada ulil amri[9]. Adanya perintah untuk taat menunjukkan wajibnya mengangkat ulil amri, karena Allah jelas tidak akan memerintahkan untuk taat kepada sesuatu yang bersifat imajiner. Juga Allah tidak akan mewajibkan taat kepada sesuatu yang kategori keberadaanya adalah sunnah (mandub). Artinya, perintah taat kepada ulil amri menuntut perintah untuk mengadakannya. Ini adalah dalil bahwa eksisensi imam muslimin adalah sebuah kewajiban.
Dampak Positif Penerapan Syari’at Islam
Syariat Islam selalu dimaksudkan untuk mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariah juga dimaksudkan untuk menghilangkan mafsadah atau minimal menguranginya. Hal ini merupakan prinsip yang oleh Ahli Ushul biasa disebut sebagai “dharuriyat khamsah”.
Dharuriyat khamsah tersebut adalah : hifzhud-dien (penjagaan din/keyakinan), hifzhun-nafs (penjagaan jiwa), hifzhul-aql (penjagaan akal), hifzhun-nasl (penjagaan keturunan), dan hifzhul-mal (penjagaan harta).
Artinya, syariat Islam membawa misi bagi lahirnya kelima maslahat diatas. Dalam hal hifzhud-dien (penjagaan keyakinan) syari’at Islam menetapkan Jihad fisabilillah, Dalam hifzhun-nafs (penjagaan jiwa), syari’at Islam menetapkan hukum Qishash, Dalam hifzhul-aql (penjagaan akal), syari’at Islam menetapkan larangan Khamr, Dalam hifzhun-nasl (penjagaan keturunan), syari’at Islam menetapkan Zina, dan dalam hifzhul-mal (penjagaan harta), syari’at Islam menetapkan haramnya Riba.
Penerapkan aturan diatas, baik dalam wilayah individu maupun masyarakat, akan membawa pengaruh positif yang luar biasa.
Peluang dan Tantangan
Seperti telah diuraikan, bahwa tak ada pilihan lain bagi setiap muslim selain tunduk dan patuh kepada syari’at Islam. Ini adalah prinsip hidup yang wajib diperjuangkan. (Al Hujurat: 15)
Formalisasi penerapan syaria’at Islam dalam lembaga negara, juga adalah sebuah tuntutan aqidah. Imamah adalah sarana untuk menerapkan syari’at Islam secara utuh dan kaffah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam konteks Indonesia, penerapan syari’at Islam akan terhalang oleh supremasi hukum yang belum menganut Islam. Meski demikian, ada celah yang wajib dimanfaatkan oleh ummat Islam sebagai manifestasi dari tauhidnya yakni UU otonomi daerah. Dalam hal ini berlaku kaidah ushul: “Maa laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu..” (Apa yang belum bisa diraih secara total bukan berarti ditinggal seluruhnya).
Kaidah umum taklif (perintah) dalam Islam menyatakan bahwa kita dituntut bertakwa kepada Allah sesuai batas kemampuan kita masing-masing. Mengukur kemampuan disini, tentu bukan atas dasar pertimbangan nafsu, tapi atas dasar kenyataan kongkrit dengan selalu berusaha secara maksimal.
Sebagai sebuah tahapan, memanfaatkan celah UU Otonomi daerah harus dilalui sembari terus berupaya dan berupaya agar ke depan Islam dapat menjadi supremasi hukum di negeri ini. Karena menjadikan Islam sebagai satu-satunya undang-undang adalah panggilan tauhid dan harga mati bagi setiap muslim. Tidak menutup kemungkinan hal ini akan menghadapi banyak tantangan, karena memang demikian sunnatullahnya. Karenanya, jangan lupa cara berjuang Rasulullah yang rumusnya adalah: dakwah dan jihad.
Wallahu a’lam.
[1] Fathir: 31; Saba’: 60; As Sajdah:3; Al-An’am: 165; Fushshilat: 42; Al-Hijr: 9
[2] Ali Imran: 110; Al-Bayyinah: 7
[3] Al-Anfal: 55-56
[4] Al Maidah 48-49
[5] Almaidah 44
[6] Majmu’ Fatawa, III/267
[7] Al Ahkam As Sulthaniyah, Mawardi. 5
[8]. Al Muqodimah : 191
[9] Ibnu Katsir manafsirkan bahwa “ulil amri” adalah umara’ dan ulama’ . Lihat Tafsir Al Quranul Adzim: I/518 Darul Fikr Al Aroby
Sumber: http://abbcenter.org/
0 komentar:
Post a Comment