Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.
Lantas bagaimana tanggapan HMI tentang pendidikan di Indonesia?
Memprihatinkan, mengenaskan, dan memilukan adalah kata dan istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendikan di tanah air saat ini. Betapa tidak, setelah lebih dari setengah abad merdeka dari kaum penjajah, kondisi dunia pendidikan belum banyak berubah. Padahal pendidikan merupakan cara dan langkah utama untuk mengejar ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan.
Nampaknya pendidikan di tanah air sebatas menjadi isu menarik yang dijual oleh para politisi untuk menggaet simpati masyarakat luas pada musim kampanye. Masih terngiang dalam ingatan, ucapan dan pernyataan mereka (baca: politisi) yang kini mengisi lembaga eksekutif dan legislatif pada kampanye 2004 lalu, berujar, “Seandainya mereka diberi kesempatan untuk menjalankan amanah rakyat—hal utama yang akan dilakukan adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas dunia pendidikan”.
Tidak hanya itu, mereka juga berjanji akan menggratiskan biaya pendidikan. Tetapi yang terjadi sekarang ibarat api jauh dari panggang. Biaya pendidikan semakin tinggi. Banyak anak negeri yang putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Yang lebih tragis, tidak sedikit dari anak bangsa yang bunuh diri karena tidak mampu menahan malu akibat tidak kuat mananggung biaya pendidikan.
Begitu juga halnya dengan peningkatan mutu. Kebijakan pemerintah sebagai upaya dalam meningkatan mutu pendidikan tidak tampil sebagai solusi melainkan lebih banyak menjadi masalah bagi dunia pendidikan kita. Tengok saja, setiap pemerintah mengeluarkan keputusan yang berkenaan dengan pendidikan selalu mendapat respon negatif dari guru dan pakar-pakar pendidikan terkemuka. Keputusan untuk tetap melaksanakan Ujian Nasional (UN) beserta aturan-aturannya, merupakan bukti nyata sikap keras penguasa.
Buktinya, keberadaan UN sebagai bagian dari kebijakan politik pemerintah malah telah membelokkan arah pendidikan. Proses pendidikan hanya mengarah pada usaha pengejaran target kelulusan ketimbang sebagai ajang interaksi nilai-nilai dan pengetahuan. Selain itu, UN telah menimbulkan tindakan-tindakan tidak terpuji (kecurangan) dari pelaku-pelaku pendidikan. Kecurangan di Deli Serdang (Sumut), Makassar, Solo, dan Batam terkait pelaksanaan UN merupakan bukti nyata bahwa evaluasi yang diterapkan pemerintah belum menjawab problem-problem pendidikan.
Di samping persoalan di atas, problem pendidikan yang tidak kalah peliknya, yaitu keberadaan infrastruktur yang keberadaannya tidak memberikan rasa aman bagi guru dan murid yang tengah mengadakan proses belajar mengajar.
Masih segar dalam ingatan tentang kejadian ambruknya atap sebuah sekolah di Bandung. Di tengah retorika pemerintah untuk memperbaiki bangsa melalui pendidikan, Kamis, (26/03/08) sebuah Sekolah Dasar, tepatnya, SD No. 01 Pasundan, Bandung, atap kelasnya roboh dan melukai 31 siswa yang sedang belajar. Tentu, tidak terlintas dalam pikiran semua siswa dan guru yang sedang menempati ruangan kelas, bahwa atap kelas mereka akan roboh.mengingat atap sekolah yang ambruk tersebut tergolong masih baru. Lebih jauh, atap kelas yang ambruk tersebut menurut informasi baru diresmikan beberapa bulan yang lalu. Belum genap setahun. Tentu menjadi aneh dan patut dicari musabbabnya mengapa peristiwa naas ini sampai terjadi?
Lain Bandung, lain Jakarta. Jumat (22/02/08) salah satu harian di Ibu Kota memuat berita di halaman depan tentang keadaan sebuah SD di daerah Kramatjati, Jakarta Timur yang hampir roboh, karena bangunan gedung sekolah yang sudah terlalu tua dan tidak pernah mengalami perbaikan sama sekali terhitung sejak sekolah dibangun. Bangunan sekolah sudah tidak layak pakai sebagai tempat belajar. Kusen-kusen pintu dan jendela sudah rapuh, dipenuhi dipenuhi rayap dengan warna yang sudah tidak karuan. Lantai sekolah lebih banyak yang bolong. Atap sekolah bocor, sehingga dapat dipastikan, jika hujan turun kelas berubah menjadi ruangan berlumpur.
Kerusakan sekolah, baik itu karena usia yang lama, atau karena kecurangan pemborong sudah sering terjadi di tanah air. Beberapa waktu yang lalu, salah satu sekolah di daerah Duren Sawit ambruk. Ambruknya sekolah ini disebabkan oleh usianya yang sudah tua dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Tidak sedikit, karena kejadian ini telah melahirkan korban. Dan perlu dicatat, masih ada ribuan sekolah yang mengalami nasib yang sama dengan ketiga sekolah di atas yang tersebar di nusantara.
Realitas di atas paradoks dengan komitmen pemerintah yang sering mengatakan, bahwa pemerintah berupaya keras memperbaiki dunia pendidikan. Patut dipertanyakan tentang banyaknya keputusan- keputusan pemerintah yang malah lebih banyak memberatkan praktisi praktisi pendidikan,dan anak didik khususnya serta dunia pendidikan kita umumnya. Bagi masyarakat, seyogyanya, apapun bentuk keputusan pemerintah mengenai pendidikan harus membawa keuntungan bagi dunia pendidikan kita.
Meski kasus ambruknya sebuah sekolah kerap terjadi di berbagai daerah, namun belum ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk memperbaikinya.
Dalam hal ini, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) sebagai bagian dari elemen masyarakat sipil yang sejak awal berdirinya sangat berkomitmen terhadap dunia pendidikan di tanah air melihat, bahwa peristiwa atap sekolah ambruk, sekolah roboh dan keputusan politik penguasa terkait dengan pendidikan yang justru bertentangan dengan pendidikan harus segera diakhiri.
PB HMI menilai, hingga saat ini belum ada upaya-upaya kongkrit dan langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasi persoalan dunia pendidikan kita.Hal ini patut disayangkan mengingat dapat membawa dampak buruk bagi anak didik sebagai sasaran pembelajaran. Bagaimana anak didik akan menikmati suasana belajar bila lingkungan sekolah dan kebijakan politik pendidikan penguasa selalu mengancam perasaan dan jiwa mereka?
Karena itu bersamaan dengan peringatan hari pendidikan, PB HMI menyatakan:
Pertama, mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan anggaran 20% bagi dunia pendidikan.
Kedua, mendorong pemerintah untuk serius memperbaiki dunia pendidikan.
Ketiga, meminta pemerintah untuk mencabut semua kebijakan-kebijakan politik pendidikan yang keberadaannya bertentangan dengan pendidikan itu sendiri.
Keempat, mendesak pemerintah untuk segera menangkap dan menghukum pihak-pihak, oknum- oknum yang sering merugikan dan memanfaatkan dunia dunia pendidikan.
Dunia pendidikan kita sangat jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain. Banyak yang perlu dibenahi. Tidak hanya pada aspek kebijakan, tetapi juga infrastruktur yang lebih layak dan tidak membahayakan murid. Anak-anak negeri ini harus mendapatkan keamanan yang pantas untuk mendukung kenyamanan belajar mereka. Bukan ancaman yang membahayakan mereka.
0 komentar:
Post a Comment